Benign Prostatic Hypertrophy ( BPH )
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Benign Prostatic Hypertrophy ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat, meliputi antara lain: jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika.
Trans Urethral Resection of the Prostat ( TUR-P ) adalah pengangkatan jaringan prostat obstruksi dari lobus medial sekitar uretra dengan menggunakan sistoskopi/resektoskop yang dimasukkan melalui uretra. Indikasi TUR-P ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TUR-P jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremi TUR-P, atau retensi oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktur uretra, ejakulasi retrograd (50-90 % ) atau impotensi (4-40%) .
Sindroma TUR-P ditandai dengan klien mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan dapat terjadi bradikardi. Jika tidak segera diatasi, klien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal.
Setelah TUR-P, dipasang kateter ( no 24 Fr ) foley tiga saluran yang dilengkapi balon 30 ml. Setelah balon kateter dikembangkan, kateter ditarik kebawah sehingga balon berada pada fosa prostat yang bekerja sebagai hemostat. Boleh dibuat traksi pada kateter foley untuk meningkatkan tekanan pada daerah operasi sehingga dapat mengendalikan perdarahan. Fungsi kateter yang lain adalah untuk irigasi. Dengan irigasi yang konstan dapat membebaskan kandung kemih dari bekuan darah yang dapat menyumbat aliran urine. Irigasi kandung kemih dihentikan setelah 2 jam bila tidak keluar lagi bekuan darah dari kandung kemih. Kateter biasanya diangkat 3-5 hari setelah operasi.
Penyulit yang terjadi pada TUR-P dibagi menjadi beberapa ahap, sebagai berikut: 1 ) selama operasi: perdarahan, sindroma TURP, dan perforasi; 2 ) pasca bedah dini: perdarahan, infeksi lokal atau sistemik, retensio urine, inkontinensia urine; 3) Pasca bedah lanjut : inkontinensia , disfungsi ereksi , ejakulasi retrograd, striktur uretra, stenosa leher buli-buli, osteitis pubis, prostat kambuh.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah
a. Anatomi fisiologi
Buli-buli
Buli-buli merupakan organ berongga yang terdiri atas tiga lapis otot destrusor yang saling beranyaman. Disebelah dalam adalah otot sirkuler, ditengah merupakan otot longitudinal, dan paling luar merupakan otot sirkuler. Mukosa buli-buli terdiri atas sel-sel transisional. Pada dasar buli-buli kedua muara ureter dan meatus uretra internum membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli.
Secara anatomi bentuk buli-buli terdiri atas tiga permukaan , yaitu: permukaan superior yang berbatasan dengan rongga peritonium, dua permukaan inferior lateral, dan permukaan posterior. Pemukaan superior adalah merupakan lobus minoris ( daerah terlemah ) dinding buli-buli.
Buli-buli berfungsi menampung urine dari ureter dan kemudian mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi ( berkemih ). Dalam menampung urine, buli-buli mempunyai kapasitas maksimal yang volumenya untuk orang dewasa kurang lebih adalah 300-450 ml, sedangkan kapasitas buli-buli pada anak –anak menurut formula Koff adalah :
Kapasitas buli-buli = { umur (tahun ) + 2 } x 30 ml
Pada saat kosong buli-buli terletak dibelakang simpisis pubis dan pada saat penuh berada diatas simpisis sehingga dapat dipalpasi dan di perkusi.
Buli-buli yang terisi penuh memberikan rangsangan pad syaraf aferen dan menyebabkan aktivasi pusat miksi di medula spinalis segmen sakral S 2-4. Hal ini akan menyebabkan kontraksi otot destruso, terbukanya leher buli-buli dan relaksasi spingter uretra sehingga terjadilah proses miksi.
Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari buli-buli melalui proses miksi. Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani.
Uretra ini diperlengkapi dengan spingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, dinding terdiri atas otot polos yang disyarafi oleh sistem otonomik dan spingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior, dinding terdiri atas otot bergaris yang dapat diperintah sesuai dengan keingian seseorang. Panjang uretra dewasa ± 23-25 cm.
Secara anatomis uetra terdiri dari dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior. Kedua uretra ini dipisahkan oleh spingter uretra eksternal.
Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea. Dibagian posterior lumen uretra prostatika terdapat suatu tonjolan verumontanum, dan disebelah kranial dan kaudal dari verumontanum ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari vasdeferen yaitu kedua duktus ejakulatorius terdapat dipinggir kanan dan kiri verumontanum, sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara didalam duktus prostatiks yang tersebar di uretra prostatika.
Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis. Uretra anterior terdiri atas: 1. Pars bulbosa, 2. Pars pendularis, 3. Fossa navikulare, dan 4. Meatus uretra eksterna. Didalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada didalam diafragma urogenitalis bermuara diuretra pars bulbosa, serta kelenjar Littre yaitu kelenjar para uretralis yang bermuara di uretra pars pendularis.
Kelenjar prostat
Prostat adalah suatu organ yang terdiri dari komponen kelenjar, stroma dan muskular. Kelenjar ini mulai tumbuh pada kehamilan umur 12 minggu karena pengaruh dari horman androgen yang berasal dari testis janin. Prostat merupakan derivat dari jaringan embrional sinus urogenital. Kelenjar prostat bentuknya seperti konnus terbalik yang terjepit ( kemiri ).
Letak kelenjar prostat disebelah inferior buli-bulu, didepan rektum dan membungkus uretra posterior. Ukuran rata-rata prostat pada pria dewasa 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram.
Pada tahun 1972 Mc. NEAL, mengemukakan konsep tantang zona anatomi dari prostat. Menurut Mc. NEAL, komponen kelenjar dari prostat sebagian besar terletak/membentuk zona perifer. Zona perifer ini ditambah dengan zona sentral yang terkecil merupakan 95 % dari komponen kelenjar. Komponen kelenjar yang lain ( 5% ) membentuk zona transisi. Zona transisi ini terletak tepat di luar uretra di daerah verumontanum. Proses hiperplasia dimulai di zona transisi ini. Sebagian besar proses keganasan (60-70 % ) bermula di zona perifer, sebagian lagi dapat tumbuh di zona transisi dan zona sentral.
Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Cairan ini merupakan 25 % dari volume ejakulat.
Jika kelenjar ini mengalami hiperplasia jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.
b. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesa menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron ( DHT ) dan proses aging ( menjadi tua ).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:
a. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut.
b. Peranan dari growth factor ( faktor pertumbuhan ) sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
c. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
d. Teori sel stem menerangkan bahwa terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan se epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
c. Patofisiologi
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio urine yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala adalah :
- Penurunan kekuatan dan kaliber aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran awal dan menetap dari BPH.
- Hesistancy terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.
- Intermittency terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sanpai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urine yang banyak dalam buli-buli.
- Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
- Frekuensi terutama terjadi pada malam hari ( nokturia ) karena hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus spingter dan uretra berkurang selama tidur.
- Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
- Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit, urine keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai compliance maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan spingter.
d. Gejala Klinik
Biasanya gejala-gejala pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower Urinary Tract Symptom ( LUTS ), dibedakan menjadi gejala iritatif dan obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi ( frekuensi ), terbangun untuk miksi pada malam hari ( nokturia ), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi ( disuria ). Sedangkan gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa tidak lampias atau puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama ( hesitancy ), harus mengedan ( training ), kencing terputus-putus ( intermittency ), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urine dan inkontinen karena overflow.
Gejala lain diluar saluran kemih, yaitu tidak jarang klien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan dari tekanan intraobdominal.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah, beberapa ahli/orgnisasi urologi membuat sistem skoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh klien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh WHO adalah skor Internasional gejala prostat atau Internaional Prostatic Symptom Score ( I-PSS ).
Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
- Ringan : skor 0-7
- Sedang : skor 8-19
- Berat : skor 20-35
Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi 4 gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urine , seperti bagan dibawah :
Derajat | Colok dubur | Sisa vol. Urine |
I | Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba | < 50 ml |
II | Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai | 50-100 ml |
III | Batas atas prostat tidak bisa diraba | > 100 ml |
IV | | Retensi urine total |
Gejala dan tanda pada klien yang lebih lanjut penyakitnya, misalnya gagal ginjal, dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, denyut nadi, respirasi, foetor uremik, peri karditis, ujung kaki yang pucat, tanda-tanda penurunan mental serta neuropati perifer. Bila sudah terjadi hidronefrosis atau pionefrosis, ginjal teraba dan ada nyeri di CVA ( Costa Vertebrae Angularis ).
e. Pemeriksaan Diagnostik ( 1,2,3,4,6,13 )
1. a. Inspeksi buli-buli: ada/ tidaknya penonjolan perut di daerah supra pubik ( buli-buli penuh / kosong )
b. Palpasi buli-buli: Tekanan didaerah supra pubik menimbulkan rangsangan ingin kencing bila buli-buli berisi atau penuh.Terasa massa yang kontraktil dan “Ballottement”.
c. Perkusi: Buli-buli yang penuh berisi urin memberi suara redup.
2 . Colok dubur.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur harus di perhatikan konsistensi prostat (pada pembesaran prostat jinak konsistensinya kenyal), adakah asimetris adakah nodul pada prostat , apa batas atas dapat diraba .
Dengan colok dubur besarnya prostat dibedakan :
- Grade 1 : Perkiraan beratnya sampai dengan 20 gram.
- Grade 2 : Perkiraan beratnya antara 20-40 gram.
- Grade 3 : Perkiraan beratnya lebih dari 40 gram.
3. Laboratorium.
- Darah lengkap sebagai data dasar keadaan umum penderita .
- Gula darah dimak sudkan untuk mencari kemungkinan adanya penyakit diabetus militus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli nerogen).
- Faal ginjal (BUN, kreatinin serum) diperiksa untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas .
- Analisis urine diperiksa untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi atau inflamasi pada saluran kemih .
- Pemeriksaan kultur urine berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebadkan infeksi dan sekligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa anti mikroba yang diujikan.
4. Flowmetri :
Flowmetri adalah alat kusus untuk mengukur pancaran urin dengan satuan ml/detik. Penderita dengan sindroma protalisme perlu di periksa dengan flowmetri sebelum dan sesudah terapi.
Penilaian :
Fmak <10ml/detik --------àobstruktif
Fmak 10-15 ml/detik-----àborderline
Fmak >15 ml/detik-------ànonobstruktif
5. Radiologi.
- Foto polos abdomen, dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli, adanya batu atau kalkulosa prostat dan kadang kadang dapat menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine, yang merupakan tanda dari suatu retensi urine.
- Pielografi intra vena, dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis, dan hidroureter, fish hook appearance ( gambaran ureter berkelok kelok di vesikula ) inclentasi pada dasar buli-buli, divertikel, residu urine atau filling defect divesikula.
- Ultrasonografi (USG), dapat dilakukan secara transabdominal atau trasrektal (trasrektal ultrasonografi = TRUS) Selain untuk mengetahui pembesaran prostat < pemeriksaan USG dapatpula menentukan volume buli-buli, meng ukur sisa urine dan keadaan patologi lain seperti divertikel, tumor dan batu .Dengan TRUS dapat diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat pula dilakukan dengan USG suprapubik.
- Cystoscopy (sistoskopi) pemeriksaan dengan alat yang disebut dengan cystoscop. Pemeriksaan ini untuk memberi gambaran kemungkinan tumor dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter, atau batu radiolusen didalam vesika. Selain itu dapat juga memberi keterangan mengenahi besarprostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjalan prostat kedalam uretra.
6. Kateterisasi: Mengukur “rest urine “ Yaitu mengukur jumlah sisa urine setelah miksi sepontan dengan cara kateterisasi . Sisa urine lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada hiper tropi prostat .
3. Dampak Masalah
Pada klien BPH dengan TUR-P akan timbul beberapa masalah, dengan gejala yang telah diuraikan pada sub bab patofisiologi . Masalah ini dapat berdam pak pada pola pola fungsi kesehatan klien.Dimana klien sebagai mahluk bio, psiko, sosial, spiritual. Dampak masalah yang muncul dapat di bagi menjadi 2 yaitu dampak masalah pre operasi dan post operasi TUR-P.
Dampak masalah pre oprasi TUR-P adalah :
1. Pola eleminasi .
Tanda tanda dan gejala yang berhubungan dengan BPH akibat pembesaran prostat yang berdampak pada penyumbatan parsial atau sepenuhnya pada saluran kemih bagian bawah. Keluhan klien antaralain adalah nokturia, frekuensi, hesistency, disuria, inkontinensia dan rasa tidak lampias sehabis miksi . Dapat pula muncul hernia inguinalis dan hemoroid .
2. Pola persepsi dan konsepsi diri.
Kebanyakan klien yang akan menjalani operasi akan muncul kecemasan. Ketidak pastian tentang prosedur pembedahan, nyeri setelah operasi, insisi dan immobilisasi dapat menimbulkan rasa cemas. Klien juga cemas akan ada perubahan pada dirinya setelah operasi.
3. Pola tidur dan istirahat.
Tanda dan gejala BPH antaralain nokturi dan frekuensi . Bila keluhan ini muncul pada klien maka tidur klien akan terganggu. Hal ini terjadi karena pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap pada setiap miksi sehingga interfal antara miksi lebih pendek. Akibatnya klien akan sering terbangun pada malam hari untuk miksi dan waktu tidur akan berkurang.
Dampak masalah post operasi TUR-P adalah:
1.Pola eliminasi
Klien post operasi TUR-P dapat mengalami perubahan eliminasi. Hal ini terjadi bila terdapat bekuan darah yang menyumbat kateter, edema dan prosedur pembedahan . Perdarahan dapat terjadi pada klien post operasi TUR-P karena fiksasi dari traksi yang kurang tepat. Infeksi karena pemasangan kateter yang kurang tepat atauperawatan kateter kurangatau tidak aseptik dapat juga terjadi.
2. Pola tidur dan istirahat
Pada klien post TUR-P dapat mengalami gangguan tidur karena klien merasakan nyeri pada lika operasi atau spasme dari kandung kemih. Karena gangguan ini maka lama/ waktu tidur klien berkurang.
3 . Pola aktifitas.
Klien post TUR-P aktifitasnya akan berkurang dari aktifitas biasa. Klien cenderung mengurangi aktifitas karena nyeri yang dirasakan akibat dari TUR-P nya. Klien akan banyak memilih di tempat tidur dari pada beraktifitas pada hari pertama dan hari yang kedua post TUR-P Sedangkan kebutuhan klien dibantu.
4 Pola reproduksi dan seksual.
Klien post TUR-P dapat mengalami disfungsi seksual. Hal ini di sebabkan karena situasi krisis ( inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan kateter ). Dengan terjadinya disfungsi seksual maka dapat terjadi ancaman terhadap konsep diri karena perubahan status kesehatan.
5. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat.
Perubahan penatalaksanaan dan pemeliharaan kesehatan dirumah dapat menimbulkan masalah dalam perawatan diri selanjutnya. Sehingga klien perlu informasi tentang perawatan selanjutnya khususnya saat dirumah supaya tidak terjadi perdarahan atau tanda tanda infeksi.
B. Asuhan Keperawatan
Perawat melakukan asuhan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan. Dengan proses keperawatan, perawat memakai latar belakang, pengetahuan yang komprehensif untuk mengkaji ststus kesehatan klien, mengidentifikasi masalah dan diagnosa merencanakan intervensi, mengimplementasikan rencana dan mengevaluasi intervensi keperawatan.
1. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan. pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien, serta merumuskan diagnosis keperawatan.
Pengkajian dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pengkajian pre operasi TUR-P dan penkajian post operasi TUR-P.
a) Pengkajian pre operasi TUR-P
Pengkajian ini dilakukan sejak klien ini MRS sampai saat operasinya, yang meliputi :
1. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama / kepercayaan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku/ Bangsa, alamat, no. rigester dan diagnosa medis.
2 . Riwayat penyakit sekarang
Pada klien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak lampias/ puas sehabis miksi, hesistensi, intermitency, dan waktu miksi memenjang dan akirnya menjadi retensio urine.
3 . Riwayat penyakit dahulu .
Adanya penyakit yang berhubungan dengan saluran perkemihan, misalnya ISK (Infeksi Saluran Kencing ) yang berulang. Penyakit kronis yang pernah di derita. Operasi yang pernah di jalani kecelakaan yang pernah dialami adanya riwayat penyakit DM dan hipertensi .
4 Riwayat penyakit keluarga .
adanya riwayat keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit BPH Anggota keluargayang menderita DM, asma, atau hipertensi.
5. Riwayat psikososial
a. Intra personal
Kebanyakan klien yang akan menjalani operasi akan muncul kecemasan. Kecemasan ini muncul karena ketidaktahuan tentang prosedur pembedahan. Tingkat kecemasan dapat dilihat dari perilaku klien, tanggapan klien tentang sakitnya.
b. Inter personal
Meliputi peran klien dalam keluarga dan peran klien dalam masyarakat.
6. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Klien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan tembakau, penggunaan obat-obatan, penggunaan alkhohol dan upaya yang biasa dilakukan dalam mempertahankan kesehatan diri (pemeriksaan kesehatan berkala, gizi makanan yang adekuat)
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien ditanya frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan yang mengganggu nutrisi seperti nause, stomatitis, anoreksia dan vomiting. Pada pola ini umumnya tidak mengalami gangguan atau masalah.
c. Pola eliminasi
Klien ditanya tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu, menetes - netes, jumlah klien harus bangun pada malam hari untuk berkemih, kekuatan system perkemihan. Klien juga ditanya apakah mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran kemih. Klien ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari prostrusi prostat kedalam rectum.
d. Pola tidur dan istirahat .
Klien ditanya lamanya tidur, adanya waktu tidur yang berkurang karena frekuensi miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ). Kebiasaan tidur memekai bantal atau situasi lingkungan waktu tidur juga perlu ditanyakan. Upaya mengatasi kesulitan tidur.
e. Pola aktifitas .
Klien ditanya aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu senggang, kebiasaan berolah raga. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana klien masih mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.
f. Pola hubungan dan peran
Klien ditanya bagaimana hubungannya dengan anggota keluarga, pasien lain, perawat atau dokter. Bagai mana peran klien dalam keluarga. Apakah klien dapat berperan sebagai mana seharusnya.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau dirasakan klien sebelum pembedahan . Biasanya muncul kecemasan dalam menunggu acara operasinya. Tanggapan klien tentang sakitnya dan dampaknya pada dirinya. Koping klien dalam menghadapi sakitnya, apakah ada perasaan malu dan merasa tidak berdaya.
h. Pola sensori dan kognitif
Pola sensori meliputi daya penciuman, rasa, raba, lihat dan pendengaran dari klien. Pola kognitif berisi tentang proses berpikir, isi pikiran, daya ingat dan waham. Pada klien biasanya tidak terdapat gangguan atau masalah pada pola ini.
i. Pola reproduksi seksual
Klien ditanya jumlah anak, hubungannya dengan pasangannya, pengetahuannya tantangsek sualitas. Perlu dikaji pula keadaan seksual yang terjadi sekarang, masalah seksual yang dialami sekarang ( masalah kepuasan, ejakulasi dan ereksi ) dan pola perilaku seksual.
j. Pola penanggulangan stress
Menanyakan apa klien merasakan stress, apa penyebab stress, mekanisme penanggulangan terhadap stress yang dialami. Pemecahan masalah biasanya dilakukan klien bersama siapa. Apakah mekanisme penanggulangan stressor positif atau negatif.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Klien menganut agama apa, bagaimana dengan aktifitas keagamaannya. Kebiasaan klien dalam menjalankan ibadah.
7. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum
Keadaan penyakit, kesadaran, suara bicara, status/ habitus, pernafasan, tekanan darah, suhu tubuh, nadi.
b. Kulit
Apakah tampak pucat, bagaimana permukaannya, adakah kelainan pigmentasi, bagaimana keadaan rambut dan kuku klien ,
c. Kepala
Bentuk bagaimana, simetris atau tidak, adakah penonjolan, nyeri kepala atau trauma pada kepala.
d. Muka
Bentuk simetris atau tidak adakah odema, otot rahang bagaimana keadaannya, begitu pula bagaimana otot mukanya.
e. Mata
Bagainama keadaan alis mata, kelopak mata odema atau tidak. Pada konjungtiva terdapat atau tidak hiperemi dan perdarahan. Slera tampak ikterus atau tidak.
f. Telinga
Ada atau tidak keluar secret, serumen atau benda asing. Bagaimana bentuknya, apa ada gangguan pendengaran.
g. Hidung
Bentuknya bagaimana, adakah pengeluaran secret, apa ada obstruksi atau polip, apakah hidung berbau dan adakah pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan faring
Adakah caries gigi, bagaimana keadaan gusi apakah ada perdarahan atau ulkus. Lidah tremor ,parese atau tidak. Adakah pembesaran tonsil.
i. Leher
Bentuknya bagaimana, adakah kaku kuduk, pembesaran kelenjar limphe.
j. Thoraks
Betuknya bagaimana, adakah gynecomasti.
k. Paru
Bentuk bagaimana, apakah ada pencembungan atau penarikan. Pergerakan bagaimana, suara nafasnya. Apakah ada suara nafas tambahan seperti ronchi , wheezing atau egofoni.
l. Jantung
Bagaimana pulsasi jantung (tampak atau tidak).Bagaimana dengan iktus atau getarannya.
m. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan retensi umumnya ada penonjolan kandung kemih pada supra pubik. Apakah ada nyeri tekan, turgornya bagaimana. Pada klien biasanya terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal teraba atau tidak. Peristaklit usus menurun atau meningkat.
n. Genitalia dan anus
Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat teraba pada saat rectal touché. Pada klien yang terjadi retensi urine, apakah trpasang kateter, Bagaimana bentuk scrotum dan testisnya. Pada anus biasanya ada haemorhoid.
o. Ekstrimitas dan tulang belakang
Apakah ada pembengkakan pada sendi. Jari – jari tremor apa tidak. Apakah ada infus pada tangan. Pada sekitar pemasangan infus ada tanda – tanda infeksi seperti merah atau bengkak atau nyeri tekan. Bentuk tulang belakang bagaimana.
8. Pemeriksaan diagnostik
Untuk pemeriksaan diagnostik sudah dijabarkan penulis pada konsep dasar.
c. Analisa data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa untuk menentukan masalah klien. Analisa merupakan proses intelektual yang meliputi kegiatan mentabulasi, menyeleksi, mengklasifikasi data, mengelompokkan, mengkaitkan, menentukan kesenjangan informasi, membandingkan dengan standart, menginterpretasikan serta akhirnya membuat kesimpulan. Penulis membagi analisa menjadi 2, yaitu analisa sebelum operasi dan analisa setelah operasi.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Tahap akhir dari pengkajian adalah merumuskan diagnosa keperawatan yang merupakan penilaian atau kesimpulan yang diambil dari pengkajian keoerawatan. Dari analisa data diatas dapat dirumuskan suatu diagnosis keperawatan yang dibagi menjadi 2, yaitu diagnosa sebelum operasi dan diagnosa setelah operasi.
1. Diagnosa sebelum operasi
a. Perubahan eliminasi urine: frekuensi, urgensi, hesistancy, inkontinensi, retensi, nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi sehubungan dengan obstruksi mekanik : pembesaran prostat.
b. Nyeri sehubungan dengan penyumbatan saluran kencing sekunder terhadap pelebaran prostat.
c. Cemas sehubungan dengan hospitalisasi, prosedur pembedahan, kurang pengetahuan tantang aktifitas rutin dan aktifitas post operasi.
d. Gangguan tidur dan istirahat sehubungan dengan sering terbangun sekunder terhadap kerusakan eliminasi: retensi disuria, frekuensi, nokturia.
3. PERENCANAAN
Setelah merumuskan diagnosis keperawatan, maka intervensi dan aktifitas keperawatan perlu di tetapkan untuk untuk mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan klien. Tahap ini disebut sebagai perencanaan keperawatan yang terdiri dari: menentukan prioritas diagnosa keperawatan, menetapkan sasaran ( goal ), dan tujuan (obyektif ), menetapkan kriteria evaluasi, merumuskan intervensi dan aktivitas keperawatan. Selanjutnya dibuat perencanaan dari masing – masing diagnosa keperawatan sebagai berikut :
1 . Sebelum operasi
a . Perubahan eliminasi urine: frekuensi, urgensi, resistancy, inkontinensi, retensi, nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi sehubungan dengan obtruksi mekanik: pembesaran prostat.
Tujuan: Pola eliminasi normal .
Kriteria hasil :
- Klien dapat berkemih dalam jumlah normal, tidak teraba distensi kandung kemih
- Residu pasca berkemih kurang dari 50 ml
- Klien dapat berkemih volunter
- Urinalisa dan kultur hasilnya negatif
- Hasil laboratorium fungsi ginjal normal
Rencana tindakan :
1. Jelaskan pada klien tentang perubahan dari pola eliminasi .
2. Dorong klien untuk berkemih tiap 2 – 4 jam dan bila dirasakan .
3. Anjurkan klien minum sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi jantung bila diindikasikan
4. Perkusi / palpasi area supra pubik
5. Observasi aliran dan kekuatan urine, ukur residu urine pasca berkemih. Jika volume residu urine lebih besar dari 100 cc maka jadwalkan program kateterisasi intermiten.
6. monitor laboratorium: urinalisa dan kultur, BUN, kreatinin.
7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat: antagonis Alfa - adrenergik (prazosin)
Rasional :
1 . Meningkatkan pengetahuan klien sehingga klien kooperatif dalam tindakan keperawatan.
2 . Meminimalkan retensi urine, distensi yang berlebihan pada kandung kemih
3 . Peningkatan aliran cairan, mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri.
4. Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area supra pubik.
5. - Observasi aliran dan kekuatan urine untuk mengevaluasi adanya obstruksi
- Mengukur residu urine untuk mencegah urine statis karena dapat beresiko infeksi
6. Statis urinarias potensial untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko ISK. Pembesaran prostat dapat menyebabkan dilatasi saluran kemih atas (ureter dan ginjal), potensial merusak fungsi ginjal dan menimbulkan uremia.
7. Mengurangi obstruksi pada buli-buli, relaksasi didaerah prostat sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.
b. Nyeri sehubungan dengan penyumbatan saluran kencing sekunder terhadap pelebaran prostat.
Tujuan : Klien menunjukan bebas dari ketidaknyamanan
Kriteria hasil :
- Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol
- Ekspresi wajah klien rileks
- Klien mampu untuk istirahat dengan cukup
- Tanda-tanda vital dalam batas normal
Rencana tindakan :
1. Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas ( skala 1-10 ), dan lamanya.
2. Beri tindakan kenyamanan, contoh: membantu klien melakukan posisi yang nyaman, mendorong penggunaan relaksasi / latihan nafas dalam.
3. Beri kateter jika diinstruksikan untuk retensi urine yang akut : mengeluh ingin kencing tapi tidak bisa.
4. Observasi tanda – tanda vital.
5. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat sesuai indikasi, contoh: eperidin ( Dumerol )
Rasional :
1. Memberi informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan Intervensi
2. Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
3 Retensi urine menyebabkan infeksi saluran kemih, hidro ureter dan hidro nefrosis
4. Mengetahui perkembangan lebih lanjut
5. Untuk menghilangkan nyeri hebat / berat, memberikan relaksasi mental dan fisik.
c. cemas sehubungan dengan hospitalisasi, prosedur pembedahan, kurang pengetahuan tentang aktifitas rutin dan aktifitas post operasi.
Tujuan: Cemas berkurang / hilang sehingga klien mau kooperatif dalam tindakan perawatan.
Kriteria hasil :
- Klien melaporkan cemas menurun / berkurang.
- Klien memahami dan mau mendiskusikan rasa cemas.
- Klien dapat menunjukan dan mengidentifikasi cara yang sehat dalam menghadapi cemas.
- Klien tampak rileks dan dapat beristirahat yang cukup.
- Tanda – tanda vital dalam batas normal
Rencana tindakan :
1. Bina hubungan saling percaya dengan klien atau keluarga.
2. Dorong klien atau keluarga untuk menyatakan perasaan / masalah.
2. Beri informasi tentang prosedur / tindakan yang akan dilakukan, contoh: kateter, urine berdarah, iritasi kandung kemih. Ketahui seberapa banyak informasi yang diinginkan klien.
4. Jelaskan pentingnya peningkatan asupan cairan.
5. Jelaskan pembatasan aktifitas yang diharapkan :
a. tirah baring untuk hari pertama post operasi
b.ambulasi progresif yang dimulai hari pertama post operasi
c.hindari aktifitas yang mengencangkan daerah kandung kemih
6. Observasi tanda - tanda vital.
Rasional :
1. Menunjukan perhatian dan keinginan untuk membantu. Membantu dalam mendiskusikan tentang subyek sensitif.
2. Mengidentifikasi masalah, memberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan, memperjelas kesalahan konsep dan solusi pemecahan masalah.
3. Membantu klien memahami tujuan dari apa yang dilakukan dan mengurangi masalah karena ketidaktahuan.
4. Urine yang encer dapat menghambat pembentukkan klot.
5. Pemahaman klien dapat membantu mengurangi cemas yang berhubungan dengan kecemasan akibat ketidaktahuan.
6. Perubahan tanda – tanda vital mungkin menunjukkan tingkat kecemasan yang dialami klien.
d. Gangguan tidur dan istirahat sehubungan dengan sering terbangun sekunder terhadap kerusakan eliminasi: retensi, disuria, frekuensi, nokturia.
Tujuan: Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil:
- Klien mampu istirahat / tidur dengan waktu yang cukup.
- Klien mengungkapkan sudah bisa tidur.
- Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur.
Rencana tindakan:
1. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur / istirahat dan kemungkinan cara untuk menghindarinya.
2. Ciptakan suasana yang mendukung dengan mengurangi kebisingan.
3. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
4. Batasi masukan cairan waktu malam hari dan berkemihsebelum tidur.
5. Batasi masukan minuman yang mengandung kafein.
Rasional :
1. Meningkatkan pengetahuan klien sehingga klien mau kooperatif terhadap tindakan keperawatan.
2. Suasana yang tenang akan mendukung istirahat klien.
3. Menentukan rencana untuk mengatasi gangguan.
3. Mengurangi frekuensi berkemih malam hari.
4. Kafein dapat merangsang untuk sering berkemih.
4. PELAKSANAAN
Pelaksanaan adalah realisasi dari perencanaan keperawatan oleh perawat dan klien, baik sebelum operasi dan sesudah operasi. Beberapa petunjuk pada implementasi adalah sebagai berikut: 1 ) Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah divalidasi; 2 ) Keterampilan interpersonal, intelektual, teknikal, dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat; 3 ) Keamanan fisik dan psikologis dilindungi; 4 ) Dokumentasi intervensi dan respon klien.
5. EVALUASI
Evaluasi adalah bagian akhir dari proses keperawatan . Semua tahap proses keperawatan ( diagnosis, tujuan, intervensi ) harus dievaluasi. Tujuan evaluasi adalah untuk apakah tujuan dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang .
Ada tiga alternatif yang dapat dipakai perawat dalam memutuskan, sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai, yaitu tujuan tercapai, tujuan tercapai sebagian dan tujuan tidak tercapai. Untuk dapat menilai maka dilihat dari perilaku klien sebagai berikut:
1. Tujuan tercapai jika klien mampu menunjukkan perilaku pada waktu atau tanggal yang telah ditentukan, sesuai dengan pernyataan tujuan.
2. Tujuan tercapai sebagian jika klien telah mampu menunjukkan perilaku, tetapi tidak seluruhnya sesuai dengan pernyataan tujuan yang telah ditentukan .
3. Tujuan tidak tercapai jika klien tidak mampu atau tidak mau sama sekali menunjukkan perilaku yang diharapkan, sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Black, Joyce M ( et al ).1991. Medical Surgical Nursing, A Psychophysiologic Approach, fourth edition.
Carpenito, Lynda Juall. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, edisi 6. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.
………. 1998. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, edisi 2. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.
Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.
Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah,volume 3. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.
Hardjowijoto, Sunaryo. 1999. Benign Prostat Hiperplasia. Surabaya: FK UNAIR / RSUD Dr. Soetomo.
Keliat, Budi Anna. 1994. Proses Keperawatan. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.
Lap / UPF Ilmu Bedah. 1994. Pedoman Diagnosa dan Terapi. Surabaya: Fakultas Kedokteran Airlangga.
Lismidar, H. 1990. Proses Keperawatan. Jakarta: Universitas Indonesia – press.
Long, Barbara C. 1996. Pendekatan Medikal Bedah 3, Suatu pendekatan proses keperawatan. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3 jilid kedua. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Purnomo, Basuki B. 2000. Dasar – dasar urologi. Malang: CV Infomedika.
Sjamsuhidayat, R ( et al ). 1997. Buku Ajar Bedah. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar